Setelah gerakan PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI. Hal ini mengundang ketidakpuasan masyarakat, ditambah lagi perekonomian yang semakin buruk. Di tengah-tengah kondisi semakin tidak menentu, kelompok Pendukung Pancasila membentuk Komando Aksi Penggayangan G 30 S/PKI. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Pada tanggal 10 Januari 1966 para demonstran mendatangi DPR-GR dan mengajukan Tritura yang isinya: Pembubaran PKI; Pembubaran kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI; Penurunan harga.
Menghadapi domonstrasi, Presiden Soekarno menyerukan pembentukan Barisan
Soekarno kepada para pendukungnya. Presiden merombak kabinet Dwikora menjadi
kabinet Dwikora yang Disempurnakan (Kabinet 100 Menteri). Oleh mahasiswa
susunan kabinet yang baru ditentang karena banyak pendukung G 30 S/PKI,
sehingga mahasiswa memberi nama kabinet Gestapu. Pada tanggal 23 Februari 1966
kembali terjadi demonstrasi. Dalam demonsrasi tersebut, gugur seorang mahasiswa
yang bernama Arif Rahman Hakim yang dijuluki Pahlawan Ampera.
Saat berpidato di depan sidang Pleno
Kabinet Dwikora yang Disempurnakan tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka,
presiden diberitahu oleh Brigjen Subur bahwa di luar istana terdapat pasukan
tak dikenal kesatuannya. Karena Presiden Soekarno merasa khawatir kemudian
segera meninggalkan sidang dan menyerahkan kepada Dr. J. Leimena untuk memimpin
sidang. Presiden bersama Dr. Soebandrio dan Dr. Chaerul Saleh segera menuju
Istana Bogor.
Tiga perwira tinggi AD yaitu Mayjen Basuki Rahmat (Menteri urusan
Veteran); Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian); Brigjen Amir Mahmud (Panglima Kodam
Jaya) menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Yang
tujuannya agar Presiden Soekarno tidak merasa
terpencil, selain itu supaya yakin bahwa TNI AD bersedia mengatasi keadaan
asal diberi kepercayaan penuh.
Dalam pertemuan itu menghasilkan surat
perintah kepada Men/Pangad atas nama Presiden, guna mengambil tindakan yang
dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintahan.
Surat perintah tersebut dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret/Supersemar.
Bagi bangsa Indonesia Supersemar
memiliki arti penting yaitu: menjadi tonggak lahirnya Orde Baru;
dengan Supersemar, Letjen Soeharto
mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kestabilan jalannya pemerintahan dan
revolusi Indonesia; lahirnya Supersemar menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
Kedudukan Supersemar secara hukum
semakin kuat setelah dilegalkan melalui Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tanggal
21 Juni 1966. Sebagai pengemban dan pemegang Supersemar, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyatakan PKI sebagai organisasi
terlarang dan membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret
1966.
2. Pada
tanggal 18 Maret 1966 menahan 15 orang menteri yang diduga terlibat dalam G 30
S/PKI.
3. Membersihkan
MPRS dan DPR serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pengaruh PKI dan
unsur-unsur komunis.
No comments:
Post a Comment